Setiap pagi, setiap bangun pagi.. selalu ada beberapa gelas kopi robusta Lampung panas di meja dapur, aroma kopinya membuat mataku yang baru melek menjadi lebih melek.. asap kopi yang mengepul dari gelas dipadu dengan dinginnya embun pagi hari membangkitkan semangatku. Darimana kopi kopi itu ? ibuku yang menyiapkannya setiap pagi. Setelah itu ibu biasanya baru membangunkanku dengan kata-kata “Don.. bangun.. kopinya nanti keburu dingin.. udah siang…!!” begitulah ibuku membangunkanku setiap pagi.
Biasanya aku langsung bangun, kemudian lari ke kamar mandi sekedar cuci muka, lalu ke dapur menghampiri bapak yang sedang duduk menikmati kopinya, aku biasa duduk di sebelah bapak, sedang ibu biasanya sambil sibuk menggoreng tempe atau pisang goreng, buat teman minum kopi. Ada adikku juga yang ikut di situ, biasanya adikku lebih dulu ada di dapur sebelum aku bangun. Terkadang jika ibu tidak menggoreng tempe atau pisang ibu sudah menyiapkan singkong rebus yang masih hangat.
Kopi, pisang goreng, tempe goreng yang terkadang tergantikan oleh singkong rebus atau kadang juga ubi rebus. Selalu mengawali hidup keluarga kami setiap pagi.
Yah.. kopi memang sangat sedap jika dinikmati bersama pisang goreng atau ubi rebus. Hm, nikmat, murah meriah dan menjadikan suasana rumah begitu hangat. Saya pastikan, beginilah suasana kebanyakan keluarga petani kopi di Indonesia saat memulai pagi mereka.
Bubuk kopi yang hitam dan wangi tersebut berasal dari biji-biji kopi yang dihasilkan kebun kopi bapak. Biji kopi yang disangrai di wajan tanah liat membuat kopi tradisional buatan ibu, terasa lebih nikmat dari kopi manapun. Wanginya yang khas dan rasanya yang murni membuat keluarga kami selalu membuat bubuk kopi sendiri, dari kopi yang dipanen di kebun sendiri. Saya rasa, beginilah suasana kebanyakan keluarga petani kopi di Indonesia saat memulai pagi mereka.
Saya belajar minum kopi sedari kecil. Mulanya dari icip-icip seruput demi seruput dari gelas kopi milik bapak atau ibu, kemudian di campurkan ke susu. Hingga kemudian saya bisa membuat segelas kopi sendiri dengan takaran yang telah diajarkan ibu. Alhasil, karena saya telah mewarisi resep tersebut. Sampai bertahun-tahun kemudian segelas kopi harus selalu menemani saya setiap kali harus lembur belajar atau kerja agar mata tetap terjaga.
Walaupun saya telah mencicipi aneka rasa kopi, terutama kopi instan bercitarasa internasional, atau secangkir kopi ‘keren’ di sebuah kafe, saya tetap mencintai kopi hitam yang murni dan mengikat hati. Saya selalu merindukan asap yang wangi dari secangkir kopi hitam yang dinikmati bersama-sama dengan keluarga di pagi hari atau di musim hujan. Saya selalu merindukan kopi tradisional (terutama buatan ibu), meski secara fisik tidak keren dan tidak dijual di kafe-kafe, tapi saya tahu itulah kopi yang sejati.
.
Biasanya aku langsung bangun, kemudian lari ke kamar mandi sekedar cuci muka, lalu ke dapur menghampiri bapak yang sedang duduk menikmati kopinya, aku biasa duduk di sebelah bapak, sedang ibu biasanya sambil sibuk menggoreng tempe atau pisang goreng, buat teman minum kopi. Ada adikku juga yang ikut di situ, biasanya adikku lebih dulu ada di dapur sebelum aku bangun. Terkadang jika ibu tidak menggoreng tempe atau pisang ibu sudah menyiapkan singkong rebus yang masih hangat.
Kopi, pisang goreng, tempe goreng yang terkadang tergantikan oleh singkong rebus atau kadang juga ubi rebus. Selalu mengawali hidup keluarga kami setiap pagi.
Yah.. kopi memang sangat sedap jika dinikmati bersama pisang goreng atau ubi rebus. Hm, nikmat, murah meriah dan menjadikan suasana rumah begitu hangat. Saya pastikan, beginilah suasana kebanyakan keluarga petani kopi di Indonesia saat memulai pagi mereka.
Bubuk kopi yang hitam dan wangi tersebut berasal dari biji-biji kopi yang dihasilkan kebun kopi bapak. Biji kopi yang disangrai di wajan tanah liat membuat kopi tradisional buatan ibu, terasa lebih nikmat dari kopi manapun. Wanginya yang khas dan rasanya yang murni membuat keluarga kami selalu membuat bubuk kopi sendiri, dari kopi yang dipanen di kebun sendiri. Saya rasa, beginilah suasana kebanyakan keluarga petani kopi di Indonesia saat memulai pagi mereka.
Saya belajar minum kopi sedari kecil. Mulanya dari icip-icip seruput demi seruput dari gelas kopi milik bapak atau ibu, kemudian di campurkan ke susu. Hingga kemudian saya bisa membuat segelas kopi sendiri dengan takaran yang telah diajarkan ibu. Alhasil, karena saya telah mewarisi resep tersebut. Sampai bertahun-tahun kemudian segelas kopi harus selalu menemani saya setiap kali harus lembur belajar atau kerja agar mata tetap terjaga.
Walaupun saya telah mencicipi aneka rasa kopi, terutama kopi instan bercitarasa internasional, atau secangkir kopi ‘keren’ di sebuah kafe, saya tetap mencintai kopi hitam yang murni dan mengikat hati. Saya selalu merindukan asap yang wangi dari secangkir kopi hitam yang dinikmati bersama-sama dengan keluarga di pagi hari atau di musim hujan. Saya selalu merindukan kopi tradisional (terutama buatan ibu), meski secara fisik tidak keren dan tidak dijual di kafe-kafe, tapi saya tahu itulah kopi yang sejati.
.